Beranda | Artikel
Bpk. QURAISH SIHAB YANG KELIRU ATAUKAH BUYA HAMKA? (Jilbab Tidak Wajib?, bag 1)
Jumat, 8 Agustus 2014

          Hebat !!, Bpk Quraish Shihab berani menyatakan bahwa jilbab tidak wajib.
Untuk melegalkan pernyataannya tersebut maka Bpk Quraish Shihab berlindung dibalik empat pernyataannya yang aneh :
Pertama : Ada ulama yang menyatakan jilbab tidak wajib
Bpk. Quraish Shihab berkata ((Saya beranggapan jilbab baik. Tetapi jangan paksakan orang pakai jilbab karena ada ulama yang berpendapat bahwa jilbab tidak wajib. Ada ulama yang berkata wajib menutup aurat. Sedangkan aurat diperselisihkan oleh ulama apa itu aurat))

Kedua : Jilbab merupakan pakaian kehormatan.
Bpk Quraish Shihab berkata ((Ah, ada juga ulama yang berkata, ‘yang penting itu pakaian terhormat’))

Ketiga : Berdalil dengan istri Buya Hamka yang tidak berjilbab
Bpk Quraish Shihab berkata ((Eh ini orang pakai jilbab sejak tahun berapa toh ini? kira-kira 20-30 tahun belakangan ini… Dulu itu istrinya Buya Hamka pakai jilbab atau tidak?…Aisyiyyah (Muhammadiyah) pakai jilbab atau tidak? Muslimat (NU) pakai jilbab atau tidak? Itu pertanda bahwa sebenarnya ulama beda pendapat))
 
Keempat : Membenarkan pembolehan melepas jilbab dengan mengesankan bahwa penggunaan jilbab itu melebihi yang dikehendaki oleh Tuhan. Bpk. Quraish Shihab berkata : ((Jadi berjilbab baik, bagus. Tetapi boleh jadi sudah melebihi apa yang dikehendaki oleh Tuhan))
(Silahkan lihat pernyataan-pernyataan Bpk Quraish Shihab tersebut di

{youtube}FBhuN42ABBE{/youtube}

 
KRITIKAN

          Sungguh ironi pernyataan jilbab tidak wajib keluar dari seseorang yang dianggap tokoh agama di tanah air kita ini.
Lebih ironi lagi pernyataan ini disebarkan oleh media televisi yang entah ditonton oleh berapa juta wanita muslimah.
Lebih ironi lagi pernyataan seperti ini muncul ditengah-tengah kondisi Indonesia yang tersebar pengumbaran aurot wanita, pornografi, zina, pacaran, dan lain-lain yang diharamkan oleh syari’at Islam.
Tentunya meskipun Bpk Quraish Shihab tidak setuju dengan pengumbaran aurat yang berlebihan akan tetapi sah-sah saja jika yang dibuka hanya leher, rambut, betis , sebagaimana yang dipraktikan oleh putrinya.
Pernyataan seperti ini akan benar-benar dimanfaatkan oleh para wanita yang ingin mengumbar aurat mereka.
Para wanita yang tidak berjilbab gembira telah menemukan argumen untuk tetap tidak berjilbab…
Para wanita yang tidak berjilbab menemukan dalih untuk mencibirkan wanita yang berjilbab dengan pernyataan Bpk Quraish Shihab ((Jadi berjilbab baik, bagus. Tetapi boleh jadi sudah melebihi apa yang dikehendaki oleh Tuhan))
Para wanita yang mengumbar aurotnya semakin memantapkan keyakinan mereka “Yang penting adalah hati, bukan penampilan luar” atau “Jilbabkan dulu hatimu sebelum menjilbabkan rambutmu”
        

          Dan yang paling ironi adalah Bpk Qurasih Shihab telah melakukan pengkaburan ilmiah terhadap publik dengan logika berargumen yang berisi beberapa ketidak amanahan ilmiah.
 

Pertama : Pernyataan Quraish bahwasanya ada ulama yang berpendapat bahwa jilbab tidak wajib.
          Ini merupakan pernyataan yang tidak benar. Kita tidak pernah menemukan dalam literatur fikih manapun, dari madzhab manapun yang menyebutkan ada ulama yang berpendapat bahwa jilbab tidak wajib. Maka kami meminta kepada Bpk Quraish Shihab untuk menyebutkan ulama siapakah yang ia maksudkan tidak mewajibkan jilbab?, dalam buku fikih manakah?.
Ataukah yang dimaksud dengan ulama oleh Bpk Quraish Shihab adalah para pemikir kontemporer semacam Mbak Musdah Mulia??. Kalau toh ada ulama yang diakui dalam dunia Islam yang berpendapat tidak wajib memakai jilbab maka apakah lantas perkataannya dianggap? atau bahkan diikuti?. Apakah setiap ada pendapat yang nyeleneh lantas dianggap sebagai permasalahan khilafiyah yang selanjutnya dijadikan sebagai argumen sebagai pelegalan terhadap pendapat yang nyeleneh tersebut?
          Saya sangat yakin bahwa Bpk Quraish Shihab mengerti betul “metode pembahasan Islami” yang ilmiah, terutama pembahasan tentang permasalahan-permasalahan yang bukan permasalahan baru dan ternyata sudah terdapat dalam kitab-kitab para ulama terdahulu. Pembahasan Ilmiyah mengkonsekuensikan untuk menukil pendapat-pendapat para ulama terdahulu, sehingga jelas bagi para pembaca jika memang perkara tersebut merupakan perkara yang telah disepakati ataukah diperselisihkan oleh para ulama.
Adapun mengesampingkan pendapat para ulama terdahulu, lalu bersandar kepada pendapat para pemikir Islam kontemporer, sementara permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan klasik (seperti hukum jilbab) maka ini adalah kesalahan dalam metode pembahasan ilmiyah. Saya rasa Bpk Quraish Shihab adalah seseorang yang menjunjung metode ilmiyah dalam pembahasan Islami.
          Tidak dipungkiri bahwasanya ada khilaf diantara para ulama fiqih, akan tetapi khilaf mereka hanya pada wajah, telapak tangan, dan tumit kaki, apakah merupakan aurot wanita atau bukan. Namun mereka semua sepakat akan wajibnya jilbab untuk menutupi seluruh anggota tubuh yang lainnya.
Para ulama ketika menafsirkan firman Allah إِلاَّ ماَ ظَهَرَ مِنْهَاkecuali bagian yang tampak” berselisih pendapat. Hal itu dikemukakan oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab Nailul Authar. Beliau berkata :
وقد اختلف في مقدار عورة الحرة فقيل جميع بدنها ما عدا الوجه والكفين وإلى ذلك ذهب الهادي والقاسم في أحد قوليه والشافعي في أحد أقواله وأبو حنيفة في إحدى الروايتين عنه ومالك . وقيل والقدمين وموضع الخلخال وإلى ذلك ذهب القاسم في قول وأبو حنيفة في رواية عنه والثوري وأبو العباس وقيل بل جميعها إلا الوجه وإليه ذهب أحمد بن حنبل وداود . وقيل جميعها بدون استثناء وإليه ذهب بعض أصحاب الشافعي وروي عن أحمد
“Maka telah diperselisihkan tentang kadar aurot wanita yang merdeka.
(Pertama) : Dikatakan seluruh tubuhnya adalah aurot selain wajah dan kedua telapak tangan. Dan ini adalah pendapat Al-Hadi, salah satu dari dua pendapat Al-Qooshim, salah satu dari pendapat Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari dua riwayat dari Abu Hanifah, dan pendapat Malik.
(Kedua) : Dikatakan pula bahwa yang termasuk bukan aurot wanita adalah kedua kakinya dan tempat gelang kaki (yaitu di atas tumit dan dibawah mata kaki-pen). Ini adalah salah satu pendapat Al-Qosim, salah satu riwayat dari Abu Hanifah, Ats-Tsaury, Abul ‘Abbas.
(Ketiga) : Dan dikatakan pula bahwa aurot wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah. Ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal dan Dawud.
(Keempat) : Dan dikatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurot tanpa ada pengecualian. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Syafi’i dan diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal. (Nailul Awthoor 2/54)
          Dari perbedaan para ulama tersebut nampak sesungguhnya tidak mengarah kepada perbedaan yang mencolok seperti bolehnya memperlihatkan rambut, dada, perut maupun paha. Perbedaan mereka hanya terletak pada muka, dan telapak tangan, telapak kaki dan sebagian tangan sampai pergelangan. (lihat pula Al-Isidzkaar 1/1008-109, Bidaayatul Mujtahid 1/115)

 
Kedua : Pernyataan Quraish Shihab bahwasanya ada ulama yang menyatakan “Yang penting itu pakaian terhormat”
          Kembali lagi kami bertanya kepada Bpk Quraish, siapakah ulama yang ia maksudkan?, apakah Musdah Mulia?, ataukah tokoh liberal yang lainnya?
Ataukah ini adalah pengkaburan ilmiyah terhadap publik?
Jika pakaian yang disyari’atkan adalah pakaian terhormat, maka hal ini tentunya merupakan perkara yang relatif. Terhormat menurut siapa?, menurut kaum eropakah?, atau menurut suku Asmat kah?. Bukankah di Amerika berpakaian dengan menampakkan paha dan sedikit lekukan buah dada merupakan pakaian terhormat?
Prof. DR. Musdah Mulia pernah ditanya : Kembali kepada persoalan jilbab. Anda sendiri pakai jilbab, tapi kenapa Anda keberatan?
Musdah Mulia menjawab : ((Saya keberatan kalau jilbab itu dipaksakan kepada semua orang. Jadi berarti tidak ada kebebasan orang untuk memilih, karena di dalam Islam sendiri pandangan tentang jilbab itu ada banyak pendapat. Ada yang mengatakan bahwa jilbab itu seperti kerudung yang saya pakai, ada pandangan lain yang mengatakan bahwa jilbab itu harus menutup seluruhnya, hanya matanya saja yang tidak. Ada yang mengatakan juga bahwa yang namanya busana muslim itu ya cukup semua bagian-bagian yang seharusnya tertutup. Kalau sudah pakai rok yang agak panjang sedikit di bawah lutut, itu sudah sesuai dengan ajaran islam, karena itu sudah dianggap bisa menutupi hal-hal yang bersifat prinsip))
(http://islamlib.com/?site=1&aid=589&cat=content&cid=12&title=saya-keberatan-kalau-jilbab-dipaksakan)

Ini tentu igauan Musdah Mulia yang tidak benar sebagaimana pernyataan Bpk Quraish Shihab. Aneh benar igauan Musdah Mulia, salah satu tokoh cendekiawan kaum liberal yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai keilmiahan. Akan tetapi ternyata pernyataan-pernyataan kontroversial mereka juga sangat jauh dari nilai ilmiah, bahkan mencampakan nilai ilmiyah. Coba sebutkan ulama siapa yang menyatakan bahwa rok yang agak panjang sedikit di bawah lutut sudah sesuai dengan syari’at Islam?? Ataukah ulama yang dimaksud oleh Musdah Mulia adalah Bpk Quraish Shihab??

 
Ketiga : Pendalilan Bpk Quraish dengan istri Buya Hamka yang tidak memakai jilbab.
          Tidaklah lazim jika Istri Buya Hamka tidak memakai jilbab maka berarti Buya Hamka membolehkan membuka jilbab. Apa yang dipraktekan oleh istri seorang ustadz tidak mesti seluruhnya dibenarkan oleh sang ustadz, kecuali jika ada pernyataan dari sang ustadz yang menyetujui atau mendukung kesalahan istrinya tersebut. Jika setiap perbuatan istri ustadz melazimkan pembenaran dari sang ustadz, maka seorang bisa berdalil untuk kafir karena istri Nabi Luth ‘alaihis salam dan istri Nabi Nuh ‘alaihis salam adalah kafir?
Bahkan untuk menguatkan argumennya maka Bpk Quraish Shihab mengesankan bahwa jilbab dahulu tidak dikenal oleh wanita-wanita Muhammadiah dan wanita-wanita NU. Bpk. Quraish Shihab berkata ((Eh ini orang pakai jilbab sejak tahun berapa toh ini? kira-kira 20-30 tahun belakangan ini… Dulu itu istrinya Buya Hamka pakai jilbab atau tidak?…Aisyiyyah (Muhammadiyah) pakai jilbab atau tidak? Muslimat (NU) pakai jilbab atau tidak? Itu pertanda bahwa sebenarnya ulama beda pendapat))      

          Sekarang mari kita baca petikan dari tulisan Buya Hamka. Buya Hamka rahimahullah berkata :
((Ketika penulis datang ke Tanjung Pura dan Pangkalan Berandan dalam tahun 1926 penulis masih mendapati kaum perempuan di sana memakai jilbab. Yaitu kain sarung ditutupkan ke seluruh badan hanya separuh muka saja yang kelihatan. Asal saja mereka keluar dari rumah hendak menemui keluarga di rumah lain, mereka tetap menutup seluruh badan dengan memasukkan badan itu ke dalam kain sarung dan salah satu dari kedua belah tangannya memegang kain itu di muka, sehingga hanya separuh yang terbuka, bahkan hanya mata saja.
Ketika penulis datang ke Makassar pada tahun 1931 sampai meninggalkannya pada tahun 1934, perempuan-perempuan yang berasal dari Salayer berbondong-bondong pergi ke tempat mereka jadi buruh harian memilih kopi di gudang-gudang pelabuhan Makassar, semuanya memakai jilbab, persis seperti di Langkat itu pula.
Seketika penulis pergi ke Bhima pada tahun 1956 penulis masih mendapati perempuan di Bhima jika keluar dari rumah berselimutkan kain sarung sebagai di Langkat 1927 dan di Makassar 1931 itu pula.
Seketika penulis pergi ke Gorontalo pada tahun 1967 (40 tahun sesudah ke Langkat) penulis dapati perempuan-perempuan Gorontalo memakai jilbab di luar bajunya, meskipun pakaian yang di dalam memakai rok moden.
          Pergerakan perempuan Islam di bawah pimpinan ulama-ulama pun membuat pakaian perempuan yang memegang kesopanan Islam yang tidak memperagakan badan. Gerakan Aisyiyah di Tanah Jawa atas anjuran Kiyai H.A. Dahlan selain memakai khimaar (selendang) yang dililitkan ke dada agar dada jangan kelihatan, dibawa pula untuk menutup kepala.
Ketika saya mulai datang ke Yogyakarta pada tahun 1924 (tiga tahun sebelum ke Tanjung Pura Langkat) kelihatan di samping khimaar penutup kepala dan dada itu, Aisyiyah pun memakai jilbab di luarnya. Pakaian secara begini menjalar ke seluruh tanah air  dalam pergerakan Islam.
Almarhum Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah mempertahankan khimaar dengan dililitkan pada muka dan kepala dengan kemas sekali; muka tidak ditutup. Seorang perempuan pergerakan yang sama pengguruannya dengan Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah, yaitu Rangkayo Hajah Rasuna Said tidak pernah lepas khimaar (selendang) itu dari kepala beliau.
Menjadi adat-istiadat perempuan Indonesia jika telah kembali dari Haji, lalu memakai khimaar (selendang) yang dililitkan di kepala dengan di bawahnya dipasak dengan sanggul bergulung, sehingga rambut kemas tidak kelihatan.        Tetapi di zaman akhir-akhir ini perempuan-perempuan modern yang mulai tertarik kembali kepada agama, lalu pergi naik haji, di Jakarta (1974) pernah mengadakan suatu mode show (peragaan pakaian) di Bali Room Hotel Indonesia memperagakan pakaian modern yang sesuai dengan ajaran Islam dan tidak menghilangkan rasa keindahan (estetika). Beberapa tahun yang lalu tukang-tukang mode di Eropa membuat kaum perempuan setengah gila dengan keluarnya mode rok mini, yaitu rok yang sangat pendek sehingga sebahagian besar paha jadi terbuka. Tetapi kemudian mereka bosan juga sehingga timbul rok maxi, yaitu rok panjang atau longdress yaitu pakaian panjang sampai ke kaki. Perempuan-perempuan modern yang telah haji lalu memakai longdress atau rok panjang itu jadi stelan pakaian orang haji.
Dalam ayat yang kita tafsirkan ini jelaslah bahwa bentuk pakaian atau modelnya tidaklah ditentukan oleh al-Quran. Yang jadi pokok yang dikehendaki al-Qur’an ialah pakaian yang menunjukkan Iman kepada Tuhan, pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki.
Alangkah baiknya kalau yang jadi ahli mode itu orang yang beriman kepada Tuhan, bukan yang beriman kepada uang dan kepada syahwat nafsu (sex appleal).
(Disalin dari: Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar Juz 22, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, Cetakan Nopember 2006, hal. 97-98, silahkan lihat http://bundakhaira.wordpress.com/2012/10/04/beginilah-jilbab-di-indonesia-hampir-seabad-yang-lalu/ )

          Sangat jelas dalam kutipan di atas bahwa Buya Hamka telah menemukan tradisi jilbab tersebar di tanah air Indonesia. Bahkan pada tahun 1926 (yaitu sekitar 90 tahun yang lalu) sudah ada wanita Indonesia yang memakai jilbab dengan menutup seluruh tubuhnya dan yang kelihatan hanyalah separuh wajahnya, bahkan hanya matanya !!. Demikian juga para ibu-ibu Aisyiah (dari Muhammadiah) menutup dada dan kepala mereka dengan disponsori oleh Bpk Kiyai Ahmad Dahlan.
Buya Hamka juga berpendapat bahwa kriteria jilbab telah ditentukan oleh al-Qur’an bukanlah bentuk pakaiannya atau modelnya, tapi ((pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki)). Beliau juga mencela orang-orang yang membuat sembarang mode pakaian bagi wanita yang tidak sesuai dengan kriteria pakaian Islami. Beliau berkata ((Alangkah baiknya kalau yang jadi ahli mode itu orang yang beriman kepada Tuhan, bukan yang beriman kepada uang dan kepada syahwat nafsu)).
          Jadi sebenarnya siapa yang keliru?, apakah Bpk Quraish Shihab yang menyatakan bahwa wanita Aisyiah tidak memakai jilbab, dan jilbab baru dikenal 20-30 tahun lalu…, ataukah Buya Hamka yang menyatakan bahwa wanita Aisyiyah sejak tahun 1924 (90 tahun yang lalu) telah memakai jilbab yang menutupi leher dan kepala mereka yang  Kiyai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah??
 
          Taruhlah Buya Hamka berpendapat bahwa jilbab tidak wajib, lantas apakah pendapat ini bisa dipertanggung jawabkan secara dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah?, sementara para ulama tidak pernah ada yang menyatakan demikian?
Jika ternyata pendapat tidak wajibnya jilbab baru muncul dari para pemikir kontemporer masa kini, maka melazimkan para ulama yang telah menjelaskan permasalahan wajibnya jilbab selama puluhan abad ternyata terjerumus dalam kesalahan dan kesesatan. Melazimkan para ulama klasik dari seluruh madzhab ternyata ngawur selama ini, hiingga datang Bpk Quraish Shihab yang menunjukkan kepada kebenaran !!
 

Keempat : Pernyataan Bpk. Quraish Shihab: ((Jadi berjilbab baik, bagus. Tetapi boleh jadi sudah melebihi apa yang dikehendaki oleh Tuhan))
          Ini adalah pernyataan yang menggambarkan dan mengesankan bahwa jilbab adalah bentuk beragama yang berlebih-lebihan, melebihi apa yang dikehendaki oleh Tuhan.
Ini tentu semakin menjadikan para wanita yang tidak berjilbab menjauh dari jilbab dan berani untuk mencibir wanita yang berjilbab. Seakan-akan jilbab adalah bentuk pakaian orang beragama yang berlebihan?!
Lihat apa yang telah dikatakan oleh putri Bpk Quraish, yaitu Najwa Shihab.

Perhatikan artikel berikut :
((Terhormat Meski Tanpa Jilbab
Najwa Shihab punya prinsip sendiri tentang jilbab. Bagi dia, hati “berjibab” lebih baik daripada sekadar jilbab kepala.
…KENDATI dalam keluarga religius, soal pakai jilbab tak menjadi keharusan. Menurut Nana (Najwa Shihab-pen), kalau orang pakai jilbab itu bagus, kalau tak berjilbab juga tidak apa-apa. “Saya sih seperti itu dan saya percaya itu.”
Karena memang, kata Nana, alasan ayahnya yang lebih penting adalah terhormat. Karena bukan berarti yang berjilbab tidak terhormat dan yang berjilbab sangat terhormat, karena kan masih banyak interpretasi tentang hal itu. Menurut Nana, yang penting tampil terhormat dan banyak cara untuk terhormat selain dengan jilbab. “Tidak pernah ada keharusan untuk berjilbab,” ucapnya.
Dengan cara berpakaian seperti itu, kata Nana, tak pernah ada yang komplain. “Karena mungkin melihat ayah, kalau ditanya orang pendapatnya membolehkan, membebaskan berjilbab atau tidak. Jadi banyak alasan dari ayah saya. Kalau ada yang komplain, paling pas bercanda. Dan saya selalu bilang: ya insyaallah mudah-mudahan suatu saat. Yang pasti hatinya berjilbab kok.”
Nana kagum pada yang pakai jilbab dan menutup aurat. Dia ingin juga pakai jilbab, mungkin suatu saat. “Sampai saat ini saya tidak merasa ada kewajiban atau beban untuk berjilbab,” katanya, “Karena sejauh saya bisa menjalankan kewajiban saya sebagai muslimah tidak masalah berjilbab atau tidak.”
Meski kini ada rekan reporter yang mengenakan jilbab, Nana tidak terpengaruh. Sampai saat ini, dia merasa apa yang dilakukannya sudah berada pada jalur yang benar. Kalau nanti ada hidayah lebih lanjut, atau kemantapan memakai jilbab, tanpa ragu Nana akan memakainya. “Apa yang dilakukan orang kan bukan berarti kita akan terpengaruh. Kalau sekarang ada yang berjilbab kemudian saya ikut. Menurut saya, rugi kalau berjilbab alasannya itu,” ujarnya. [Banani Bahrul-Hassan, Imam Shofwan] ))
( lihat : http://syirah.blogspot.com/2005/03/terhormat-meski-tanpa-jilbab.html )

 
Lihatlah pula cibiran yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdalla (dalam twitternya, meskipun telah ia hapus, akan tetapi sudah pernah ia ungkapkan, dan igauan ini tidaklah mungkin keluar dari orang yang menghargai jilbab)
 

Sungguh biadab Ulil Abshar menyamakan wanita yang bercadar dengan tempat sampah, justru ialah yang sampah. Berani menghina para wanita yang menjalankan syari’at Allah. Sungguh aneh tokoh liberal ini??!!. Katanya menjunjung kebebasan, ternyata yang dijunjungnya hanya wanita yang membuka aurotnya, sementara wanita yang berjilbab dengan menutup aurotnya disamakan dengan tempat sampah.!!!. Penghinaan Ulil ini adalah penghinaan terhadap jutaan wanita yang bercadar, penghinaan terhadap para wanita yang ingin menutupi dirinya karena Allah, ingin mempersembahkan kecantikannya hanya untuk suaminya…, penghinaan terhadap istri-istri para ustadz, istri-istri para ulama, penghinaan terhadap ibunda kaum mukminin, istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tentu Ulil akan dengan PeDe berani mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah !!

(Bersambung inysaa Allah)
 

Jum’at, 8 Agustus 2014

Firanda Andirja Abidin
Aryaduta Makassar

 

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1190-bpk-quraish-sihab-yang-keliru-ataukah-buya-hamka-jilbab-tidak-wajib-bag-1.html